Jumat, 23 Oktober 2015

Mawas Diri Menakar Berani
       Dalang Ki Jlitheng Suparman






Pada Hari Selasa tanggal 20 Oktober 2015, wayang kampung sebelah telah hadir di balairung Universitas PGRI Semarang untuk memeriahkan acara Bulan Bahasa . Kali ini wayang kampung sebelah akan menampilkan pertunjukan yang berjudul Mawas Diri Menakar Berani. Cerita nya tentang pemilihan kepala desa, salah satu calon nya adalah pak somad. Berikut awal ceritanya.

Di awali dengan musik pembuka yang di iringi oleh alat musik drum, gitar, gendang, suling, dan masih banyak lagi. Setelah musik sudah selesai, maka masuk lah Eyang Sidik Wacono memimpin penghitungan suara pilkades. Mendadak papan tulis untuk mencatat penghitungan suara hilang. Parjo selaku kepala keamanan ditanya tidak tahu. Begitu pun Sodrun ketika ditanya malah salah persepsi merasa dituding sebagai biang hilangnya papan tulis. Ternyata papan tulis itu disimpan oleh Suto Coro sebagai kepala rumah tangga kelurahan. Terjadi perdebatan sengit antara Suto Coro dan Mbah Sidik yang berakhir dengan kesanggupan Suto Coro meminjamkan papan tulis. Lalu parjo memberikan hasil suara dan ternyata pak somad yang memenangkan pilkades tersebut.

       Ada beberapa warga yang tidak terima atas dipilihnya pak somad, banyak yang bilang bahwa kemenang pak somad tidak sesuai. Pak somad berbuat curang, salah satunya dengan melakukan black campaign atas dirinya. Selain itu tindakan money politik, salah satunya dalam bentuk tindakan serangan fajar luar biasa besar.

Esok harinya Kampret bertandang ke rumah Karyo mengajak ngobrol tentang sukses pilkades dengan pemenang Pak Somad. Karyo menanggapi dingin. Gegap gempitanya pesta demokrasi pilkades dia yakini tak mengubah apa-apa. Dari bentuk bantuan atau subsidi untuk orang miskin, ada yang menerima ada pula yang tidak menerima. Lantas kemana menguapnya dana bantuan ini? Para warga mulai curiga atas sikap somad, dari mulai cara bicaranya  berbelit-belit.

Setelah terpilihnya pak somad sebagai kepala desa,lalu beberapa hari kemudian pak somad mengadakan acara tasyakuran lurah somad. Sederetan artis berkiprah di atas panggung artis tersebut adalah syarani, inul, dan roma irama. Sore nya Kampret mengajak Karyo menyaksikan panggung hiburan dalam rangka tasyakuran kemenangan Somad sebagai lurah baru Desa Bangunjiwo.

Menghibur penonton yang memadati acara tasyakuran Lurah Somad. semua nya ssangat antusias. lalu tiba-tiba Kampret yang mabuk merasa terusik kesenangannya atas ulah Jhony. Ia segera naik ke atas panggung meminta Jhony berhenti ngoceh, agar kemudian hiburan dangdut dilanjutkan. Jhony marah menuding Kampret sebagai pendukung Somad yang tidak terima atas protesnya. Ia pun menantang Kampret berkelahi. Tapi pemuda sang pemabuk itu menanggapi dengan senyum sinis. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak mendukung siapa pun. Dirinya adalah sang pemabuk netral.

          Jhony yang merasa terdesak dalam perdebatan itu langsung menyerang Kampret. Perkelahian keduanya memicu tawur massa.

Karyo mendatangi Pak Gendut seorang anggota polisi, Mbah Modin, Pak Somad, dan Parjo, para tokoh masyarakat yang tengah berada di lokasi kerusuhan memantau situasi. Karyo langsung nyemprot para tokoh itu yang tidak bergerak apa-apa bahkan seakan menikmati kerusuhan yang sedang terjadi. Pak Gendut didesak supaya segera bergerak meredam kerusuhan.

           “Dengan cara bagaimana?” tanya Pak Gendut.

        “Lho kok malah tanya saya? Kalau saya yang harus jawab, Pak Gendut lepas seragam saja biar saya pakai! Ya dengan segala cara apa pun yang penting kerusuhan berhenti,” jawab Karyo.

         Tidak semudah itu. Menghentikan kekerasan mustahil tanpa cara tegas dan keras. Memangnya menghentikan kerusuhan cukup dengan pidato atau memohon-mohon? Tapi kalau menggunakan cara tegas dan keras, polisi harus berhadapan dengan pasal-pasal HAM. Polisi akan dihujat dan disalahkan oleh siapa saja karena menggunakan kekerasan. Polisi bergerak salah, tidak bergerak juga salah. Terus terang, di negara ini polisi pun hanya bisa serba salah.

        Karyo bingung. Ia mendesak pak Somad sebagai lurah yang baru harus bisa mengendalikan situasi. Pak Somad pun berkilah, karena ia pejabat baru maka belum menguasai medan. Ia perlu mempelajari situasi dan kondisi terlebuh dahulu, berkoordinasi, baru bisa menentukan tindakan yang harus diambil.

      “Waaaa… rakyate selak modar, Pak!” teriak Karyo. Calon pemimpin sebelum berkuasa itu seharusnya sudah lebih dulu menguasai masalah, bukan berkuasa dulu baru mempelajari masalah. Kalau sikap dan pola pikir calon-calon pemimpin di negeri ini seperti itu, mustahil ada pemimpin yang benar-benar menguasai masalah dan mampu menyelesaikannya. Kaderisasi pemimpin di negara ini memang benar-benar bermasalah.

Karyo sudah benar-benar tak habis pikir. Di kerusuhan itu, rakyat saling berbenturan. Setiap saat nyawa mereka bisa melayang tanpa mau menunggu keputusan rapat-perdebatan prosedur hukum.

           “Itulah jenis kelamin demokrasi kita saat ini, Lik!” cetus Kampret yang tiba-tiba muncul di perbincangan. Demokrasi yang tidak mempermudah penyelesaian masalah tapi justru memperumit penyelesaian masalah. Lagian, lha wong Pak Somad, Mbah Modin, Pak Gendut dan Mas Parjo itu orang-orang yang cari selamat kok disuruh menyelamatkan orang. Bagaimana bisa? Demokrasi di negeri ini sebatas mengajak orang melihat betapa nikmatnya kekuasaan, bukan betapa beratnya kekuasaan. Logikanya, orang cenderung menghindar dari pekerjaan-pekerjaan berat. Anehnya kita berkelahi mati-matian untuk memperebutkan pekerjaan yang berat. Betapa hebatnya bangsa ini yang ternyata dipenuhi manusia-manusia super yang berebut siap menanggung beban beratnya kekuasaan.setelah berdebat maka semuanya sepakat akan menggantikan lurah pak somad dengan yang lain, agar tidak terjadi suatu keributan yang lebih parah. Setelah sudah selesai, lalu ditutup dengan alunan musik gamelan dan drum, serta suling. Permainan lampu yang menjadi penutup pertunjukan wayang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar