Pada kali ini Universitas PGRI Semarang, khususnya semua
mahasiswa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni pada tanggal 15 Oktober 2015
telah menonton film soekarno,yang bertempat digedung balairung yang bertujuan
untuk memperingati Bulan Bahasa yang dilaksanakan pada bulan Oktober ini. Film
yang disutradai oleh Hanung Bramantyo berjudul Soekarno: Indonesia
Meredeka, mengisahkan dengan ringkas dan cerdas fase-fase kisah kehidupan
Sukarno Sang Proklamator.
Dimulai dengan kisah kelahiran Sukarno dari pasangan
Raden Soekemi Sosrodiharjo (diperankan Sujiwo Tejo) dan Ida Ayu Nyoman Rai
(diperankan Ayu Laksmi). Sukarno kecil memiliki nama Kusno Sosrodiharjo, namun
karena selalu sakit-sakitan maka sang ayah yang berlatar belakang Muslim dan
Kejawen memutuskan untuk mengganti namanya melalui tradisi selamatan dengan
nama baru, Sukarno (diperankan Emir Mahira). Setelah berganti nama kini sukarno
sudah lebih baik, dan sudah tidak sakit-sakitan lagi.
Film beralih mengisahkan kehidupan Sukarno pada masa
remaja (14 tahun) saat mana dia memasuki Hoogere Burger School (HBS)
dan tinggal bersama Oemar Said Cokroaminoto, pimpinan organisasi Syarikat Islam
di Surabaya. Sukarno kerap mendengar pidato-pidato Cokroaminoto yang
menggelegar mengritisi sistem kolonialisme. Petikan pidato Cokroaminoto yang
inspiratif, “Marilah kita menjadi tuan-tuan atas dirinya sendiri!”.
Sukarno remaja terlibat percintaan dengan seorang remaja Belanda, namun oleh
karena perbedaan status sebagai bangsa penjajah dan bangsa jajahan, maka remaja
Sukarno mendapatkan perlawanan keras dari keluarga sang gadis. Mendapat
perlakuan diskriminatif dan pelarangan ini, remaja Sukarno bereaksi keras.
Remaja Sukarno (diperankan oleh Aryo Bimo) telah
bertumbuh menjadi seorang pemuda yang aktif dalam kegiatan dan pidato-pidato
politik menentang dan mengritisi sistem kolonialisme yang membelenggu
Indonesia. Setamat di Technische Hoge School (sekarang ITB),
Sukarno muda mendirikan Partai Nasional Indonesia. Sukarno telah
memiliki istri yang setia mendampingi perjuangan politik dalam suka dan duka
bernama Inggit Garnasih (diperankan Maudy Koesnaedy). Dia adalah ibu kost
Sukarno yang sudah menjanda, saat Sukarno masih kuliah awal di Bandung dan
kemudian menjadi istri Sukarno. Peranan Inggit cukup menonjol dalam film ini
sebagai seorang perempuan yang setia mendampingi Sukarno saat dirinya
menghadapi masa-masa sulit baik ketika di penjarakan di L.P. Sukamiskin Banceuy
maupun saat di buang ke Pulau Ende. Kesetiaan Inggit bukan hanya dalam
pendampingan melainkan mengeluarkan pembiayaan atas perjuangan politik Sukarno.
Suatu hari saat sukarno sedang berpidato, pidato
politik Sukarno menimbulkan kemarahan Belanda sehingga harus dijebloskan
penjara Banceuy (1929). Dalam penjara, Sukarno tidak berdiam diri dan terus
membaca serta menganalisis yang dituangkan dalam tulisan-tulisan. Saat sidang
Landraad di Bandung (1930), Sukarno membacakan pledoinya dengan cemerlang dan
berapi-api yang kelak dibukukan dengan judul Indonesia Menggugat.
Dalam pidatonya, Sukarno menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah dikarenakan
mengritisi sistem kolonialisme dan membeberkan secara argumentatif. Pidatonya
menggegerkan dunia internasional khususnya pemerintahan Belanda dan pada 31
Desember 1931, Sukarno dibebaskan sebelum masa tahanannya selesai. Akibat
aktifitas politiknya paska pembebasan dari penjara dengan mendirikan Partai
Indonesia (Partindo) dan memimpin majalah partai yang radikal dengan nama Fikiran
Ra’jat, ahirnya pemerintahan Belanda membuang Sukarno ke Ende, Flores
(1933). Namun karena sakit malaria, kemudian Sukarno dipindahkan ke Bengkulu
(1938).
Pada saat sukarno berada di Bengkulu. Sehari-hari dia
mengajar di sekolah Muhamadiyah. Di Bengkulu inilah Sukarno terlibat asmara
dengan salah satu muridnya bernama Fatmawati (diperankan oleh Tika Bravani),
murid yang cantik dan cerdas serta kerap bertanya di kelas. Inggit yang semula
menerima keberadaan Fatmawati sebagai anak angkat mulai gerah dan bereaksi
keras saat Sukarno menyatakan hendak memperistri Fatmawati. Pertengkaran kerap
terjadi dalam rumah tangga Sukarno akibat kekecewaan Inggit dan ketidakbersediaannya
untuk menjadi madu karena di polgami.
Jepang saat itu mulai memasuki wilayah Indonesia
khususnya Jawa (1942) dan membawa perubahan radikal dan sistemik dalam
kehidupan sosial dan politik Bangsa Indonesia saat masih dijajah oleh Pemerintahan
Belanda. Pemerintahan Jepang mendekati Sukarno untuk mendukung propaganda
Jepang yaitu 3 A yang terdiri dari Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung
Asia, Nippon Pemimpin Asia. Karena propaganda tersebut tidak berhasil,
Jepang kemudian menarik perhatian rakyat Indonesia dengan mendirikan tentara
PETA (Pembela Tanah Air). Namun pendirian PETA ini dimanfaatkan oleh
tokoh-tokoh pergerakan untuk menjadi pasukan yang kelak dipakai untuk melakukan
perlawanan terhadap Jepang dan menjadi cikal bakal Tentara Nasional
Indonesia. Tentara Pembela Tanah Air dibentuk pada tanggal
3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh
Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jendral Kumakichi Harada.
Saat menghantarkan Sukarno kembali ke Jakarta (9 Januari
1942) oleh pemerintahan Jepang. Dalam satu percakapan antara Sukarno dan
Sakaguchi (diperankan Ferry Salim) perwira Jepang, terlontar pernyataan, “Walanda
(Belanda) yang memenjarakan Anda namun Nipong (Nippon) membebaskan….!”, seraya
meninggalkan Sukarno dan mengambil obor yang dipegangnya. Di Jakarta, Sukarno
bertemu dengan teman-teman perjuangannya yaitu Muhamad Hatta (diperankan oleh
Lukman Sardi) dan Syahrir (diperankan Tanta Ginting). Sukarno tinggal di rumah
yang disediakan pemerintahan Jepang. Namun di Jakarta inilah, saat Sukarno
menerima kebebasan dari pembuangan, Inggit pun menuntut kebebasan untuk tidak
menjadi istri Sukarno dengan menuntut cerai. Tahun 1942, Sukarno bercerai
dengan Inggit dan sekaligus menikah dengan Fatmawati dan melahirkan putra
pertamanya bernama Guntur Sukarno Putra.
Sukarno, Hatta, Syahrir kerap terlibat diskusi dan
perdebatan dalam melawan pemerintahan Jepang. Sukarno memilih jalan kooperasi
(kerja sama) sementara Syahrir memilih jalan perlawanan fisik melalui PETA. Hatta
berdiri netral sambil memberikan apresiasi terhadap kedua pandangan
sahabat-sahabatnya itu.
Tanggal 8 September 1944, bendera Merah Putih
diijinkan berkibar namun hanya di wilayah Jawa saja. Saat itu
pemerintahan Jepang telah memberikan hadiah kemerdekaan kepada Bangsa
Indonesia namun pemerintahan Jepang di Indonesia tidak segera melakukan
penyerahan melainkan mempersiapkan teknis secara bertahap melalui panitia
persiapan kemerdekaan Indonesia.
Situasi Jepang paska pemboman Hiroshima dan Nagasaki
diketahui oleh Syahrir melalui siaran radio yang dipasang secara rahasia di
rumahnya. Kondisi ini membuat Syahrir mendesak agar Sukarno dan Hatta mengambil
alih situasi dan menolak pemberian hadiah kemerdekaan oleh Jepang dan segera
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta berbeda pendapat
dengan Syahrir. Mereka ingin kemerdekaan diproklamirkan melalui prosedur yang
telah dipersiapkan, sekalipun oleh pemerintahan Jepang. Hal ini menimbulkan
kemarahan Syahrir dan para pemuda yang sudah tidak sabar menginginkan
kemerdekaan Indonesia diproklamirkan secepatnya. Para pemuda sempat menculik
Sukarno dan Hatta, sekalipun bukan atas petunjuk Syahrir.
Dalam situasi genting ini, akhirnya Sukarno dan Hatta
berhasil ditemukan dan terjadilah rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau
PPKI adalah panitia yang bertugas untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia,
sebelum panitia ini terbentuk, sebelumnya telah berdiri BPUPKI namun karena
dianggap terlalu cepat ingin melaksanakan proklamasi kemerdekaan, maka Jepang
membubarkannya dan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
atau Dokuritsu Junbi Iinkai (Komite Persiapan Kemerdekaan) pada tanggal 7
Agustus 1945 yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Pada tanggal 1 Juni 1945, sebuah
persidangan di Volksraad telah membicarakan berbagai usulan Dasar Negara yang
pada akhirnya pidato Sukarno mengenai Dasar Negara diterima dengan nama
Pancasila.
Film ini ditutup dengan kisah heroik dan mengharukan
saat naskah Proklamasi dibacakan dan bendera merah putih buatan Fatmawati
dikibarkan. Bangsa Indonesia bersorak dan bersukacita atas kebebasan yang
diproklamirkan, Inggit yang menenun sepi di Bandung pun turut bergembira atas
berita kemerdekaan ini. Indonesia baru telah ditandatangani dan diproklamirkan,
sebuah pintu masuk menuju jembatan emas – sebagaimana tulisan Sukarno- baru
saja dimulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar