Sabtu, 17 Oktober 2015

Ulasan film sukarno

Pada kali ini Universitas PGRI Semarang, khususnya semua mahasiswa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni pada tanggal 15 Oktober 2015 telah menonton film soekarno,yang bertempat digedung balairung yang bertujuan untuk memperingati Bulan Bahasa yang dilaksanakan pada bulan Oktober ini. Film yang disutradai oleh Hanung Bramantyo berjudul Soekarno: Indonesia Meredeka, mengisahkan dengan ringkas dan cerdas fase-fase kisah kehidupan Sukarno Sang Proklamator. 

Dimulai dengan kisah kelahiran Sukarno dari pasangan Raden Soekemi Sosrodiharjo (diperankan Sujiwo Tejo) dan Ida Ayu Nyoman Rai (diperankan Ayu Laksmi). Sukarno kecil memiliki nama Kusno Sosrodiharjo, namun karena selalu sakit-sakitan maka sang ayah yang berlatar belakang Muslim dan Kejawen memutuskan untuk mengganti namanya melalui tradisi selamatan dengan nama baru, Sukarno (diperankan Emir Mahira). Setelah berganti nama kini sukarno sudah lebih baik, dan sudah tidak sakit-sakitan lagi.

Film beralih mengisahkan kehidupan Sukarno pada masa remaja (14 tahun) saat mana dia memasuki Hoogere Burger School (HBS) dan tinggal bersama Oemar Said Cokroaminoto, pimpinan organisasi Syarikat Islam di Surabaya. Sukarno kerap mendengar pidato-pidato Cokroaminoto yang menggelegar mengritisi sistem kolonialisme. Petikan pidato Cokroaminoto yang inspiratif, “Marilah kita menjadi tuan-tuan atas dirinya sendiri!”. Sukarno remaja terlibat percintaan dengan seorang remaja Belanda, namun oleh karena perbedaan status sebagai bangsa penjajah dan bangsa jajahan, maka remaja Sukarno mendapatkan perlawanan keras dari keluarga sang gadis. Mendapat perlakuan diskriminatif dan pelarangan ini, remaja Sukarno bereaksi keras.

Remaja Sukarno (diperankan oleh Aryo Bimo) telah bertumbuh menjadi seorang pemuda yang aktif dalam kegiatan dan pidato-pidato politik menentang dan mengritisi sistem kolonialisme yang membelenggu Indonesia. Setamat di Technische Hoge School (sekarang ITB), Sukarno muda mendirikan Partai Nasional Indonesia. Sukarno telah memiliki istri yang setia mendampingi perjuangan politik dalam suka dan duka bernama Inggit Garnasih (diperankan Maudy Koesnaedy). Dia adalah ibu kost Sukarno yang sudah menjanda, saat Sukarno masih kuliah awal di Bandung dan kemudian menjadi istri Sukarno. Peranan Inggit cukup menonjol dalam film ini sebagai seorang perempuan yang setia mendampingi Sukarno saat dirinya menghadapi masa-masa sulit baik ketika di penjarakan di L.P. Sukamiskin Banceuy maupun saat di buang ke Pulau Ende. Kesetiaan Inggit bukan hanya dalam pendampingan melainkan mengeluarkan pembiayaan atas perjuangan politik Sukarno.
Suatu hari saat sukarno sedang berpidato, pidato politik Sukarno menimbulkan kemarahan Belanda sehingga harus dijebloskan penjara Banceuy (1929). Dalam penjara, Sukarno tidak berdiam diri dan terus membaca serta menganalisis yang dituangkan dalam tulisan-tulisan. Saat sidang Landraad di Bandung (1930), Sukarno membacakan pledoinya dengan cemerlang dan berapi-api yang kelak dibukukan dengan judul Indonesia Menggugat. Dalam pidatonya, Sukarno menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah dikarenakan mengritisi sistem kolonialisme dan membeberkan secara argumentatif. Pidatonya menggegerkan dunia internasional khususnya pemerintahan Belanda dan pada 31 Desember 1931, Sukarno dibebaskan sebelum masa tahanannya selesai. Akibat aktifitas politiknya paska pembebasan dari penjara dengan mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dan memimpin majalah partai yang radikal dengan nama Fikiran Ra’jat, ahirnya pemerintahan Belanda membuang Sukarno ke Ende, Flores (1933). Namun karena sakit malaria, kemudian Sukarno dipindahkan ke Bengkulu (1938).

Pada saat sukarno berada di Bengkulu. Sehari-hari dia mengajar di sekolah Muhamadiyah. Di Bengkulu inilah Sukarno terlibat asmara dengan salah satu muridnya bernama Fatmawati (diperankan oleh Tika Bravani), murid yang cantik dan cerdas serta kerap bertanya di kelas. Inggit yang semula menerima keberadaan Fatmawati sebagai anak angkat mulai gerah dan bereaksi keras saat Sukarno menyatakan hendak memperistri Fatmawati. Pertengkaran kerap terjadi dalam rumah tangga Sukarno akibat kekecewaan Inggit dan ketidakbersediaannya untuk menjadi madu karena di polgami.

Jepang saat itu mulai memasuki wilayah Indonesia khususnya Jawa (1942) dan membawa perubahan radikal dan sistemik dalam kehidupan sosial dan politik Bangsa Indonesia saat masih dijajah oleh Pemerintahan Belanda. Pemerintahan Jepang mendekati Sukarno untuk mendukung propaganda Jepang yaitu 3 A yang terdiri dari Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia. Karena propaganda tersebut tidak berhasil, Jepang kemudian menarik perhatian rakyat Indonesia dengan mendirikan tentara PETA (Pembela Tanah Air). Namun pendirian PETA ini dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh pergerakan untuk menjadi pasukan yang kelak dipakai untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang dan menjadi cikal bakal Tentara Nasional IndonesiaTentara Pembela Tanah Air dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jendral Kumakichi Harada.
Saat menghantarkan Sukarno kembali ke Jakarta (9 Januari 1942) oleh pemerintahan Jepang. Dalam satu percakapan antara Sukarno dan Sakaguchi (diperankan Ferry Salim) perwira Jepang, terlontar pernyataan, “Walanda (Belanda) yang memenjarakan Anda namun Nipong (Nippon) membebaskan….!”, seraya meninggalkan Sukarno dan mengambil obor yang dipegangnya. Di Jakarta, Sukarno bertemu dengan teman-teman perjuangannya yaitu Muhamad Hatta (diperankan oleh Lukman Sardi) dan Syahrir (diperankan Tanta Ginting). Sukarno tinggal di rumah yang disediakan pemerintahan Jepang. Namun di Jakarta inilah, saat Sukarno menerima kebebasan dari pembuangan, Inggit pun menuntut kebebasan untuk tidak menjadi istri Sukarno dengan menuntut cerai. Tahun 1942, Sukarno bercerai dengan Inggit dan sekaligus menikah dengan Fatmawati dan melahirkan putra pertamanya bernama Guntur Sukarno Putra.

Sukarno, Hatta, Syahrir kerap terlibat diskusi dan perdebatan dalam melawan pemerintahan Jepang. Sukarno memilih jalan kooperasi (kerja sama) sementara Syahrir memilih jalan perlawanan fisik melalui PETA. Hatta berdiri netral sambil memberikan apresiasi terhadap kedua pandangan sahabat-sahabatnya itu.

Tanggal 8 September 1944, bendera Merah Putih diijinkan berkibar namun  hanya di wilayah Jawa saja. Saat itu pemerintahan Jepang telah  memberikan hadiah kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia namun pemerintahan Jepang di Indonesia tidak segera melakukan penyerahan melainkan mempersiapkan teknis secara bertahap melalui panitia persiapan kemerdekaan Indonesia.


Situasi Jepang paska pemboman Hiroshima dan Nagasaki diketahui oleh Syahrir melalui siaran radio yang dipasang secara rahasia di rumahnya. Kondisi ini membuat Syahrir mendesak agar Sukarno dan Hatta mengambil alih situasi dan menolak pemberian hadiah kemerdekaan oleh Jepang dan segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta berbeda pendapat dengan Syahrir. Mereka ingin kemerdekaan diproklamirkan melalui prosedur yang telah dipersiapkan, sekalipun oleh pemerintahan Jepang. Hal ini menimbulkan kemarahan Syahrir dan para pemuda yang sudah tidak sabar menginginkan kemerdekaan Indonesia diproklamirkan secepatnya. Para pemuda sempat menculik Sukarno dan Hatta, sekalipun bukan atas petunjuk Syahrir.

Dalam situasi genting ini, akhirnya Sukarno dan Hatta berhasil ditemukan dan terjadilah rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI adalah panitia yang bertugas untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, sebelum panitia ini terbentuk, sebelumnya telah berdiri BPUPKI namun karena dianggap terlalu cepat ingin melaksanakan proklamasi kemerdekaan, maka Jepang membubarkannya dan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Iinkai (Komite Persiapan Kemerdekaan) pada tanggal 7 Agustus 1945 yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Pada tanggal 1 Juni 1945, sebuah persidangan di Volksraad telah membicarakan berbagai usulan Dasar Negara yang pada akhirnya pidato Sukarno mengenai Dasar Negara diterima dengan nama Pancasila.


Film ini ditutup dengan kisah heroik dan mengharukan saat naskah Proklamasi dibacakan dan bendera merah putih buatan Fatmawati dikibarkan. Bangsa Indonesia bersorak dan bersukacita atas kebebasan yang diproklamirkan, Inggit yang menenun sepi di Bandung pun turut bergembira atas berita kemerdekaan ini. Indonesia baru telah ditandatangani dan diproklamirkan, sebuah pintu masuk menuju jembatan emas – sebagaimana tulisan Sukarno- baru saja dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar