Minggu, 18 November 2018

6 Tahun Pada Satu Nama

Sudah tahun ke enam, sejak terakhir pertemuan Aku dan Dia. Masih teringat wajahmu, senyummu, dan suaramu. Obrolan pertama yang tidak akan aku lupakan. Awalnya memang canggung, karena kali pertama bertatap wajah denganmu. Itulah kali pertama aku mulai menyukaimu. Memang terasa aneh, menyukai seseorang saat kali pertama berjumpa. Tapi asal kamu tahu, aku menyukaimu bukan karena fisik kamu. Tetapi tentang pengalaman hidupmu saat beberapa jam berbincang denganmu, membuatku merasa ada yang unik dari dirimu. Walaupun kamu sudah mengetahuinya dan berpura-pura untuk tidak mengetahuinya. Dan selalu menjaga jarak jika aku membahas hal-hal yang berhubungan tentang perasaan.

Aku tak pernah marah dengan sikap acuhmu, walaupun kamu selalu acuh kepadaku, tetapi aku tetap menyukaimu. Aku tak pernah marah kepadamu, saat kamu tidak pernah membalas pesan-pesan ku. Mungkin itu dulu, sebelum mengetahui yang sebenarnya. Saat pertanyaan yang sempat aku tanyakan kepadamu. Pertanyaan yang mungkin terasa asing ditelingamu. Memang aku sudah gila, sudah memberanikan untuk menanyakan hal semacam itu. Dan saat tahu jawaban yang kamu berikan hanya sebuah senyuman saja.

Sempat kesal melihat jawabanmu hanya senyum saja. Makin kesini, aku paham maksud emoticon senyum itu maksudnya apa. Yaa, yaa aku paham. Aku lebih baik mundur saja. Memang benar apa yang teman kamu katakan bahwa aku harus lupain kamu, cepat cari yang lain, dan jangan berharap lebih sama dia. Bahwa yang temanmu katakan kepadaku “Haduh caca, kaya engga ada yang lain aja. Masih aja si Andi. Mau sampai kapan ca?” Saat dia berkata seperti itu, aku membalas “Gimana yaa, aku juga bingung kenapa aku susah move on dari dia. Engga bisa jauhin pikiran tentang dia, karena setiap hari selalu mikiran dia wkk” dengan jawaban tidak serius, karena aku coba untuk menenangkan diri. Tentang apa yang dikatakan oleh Ade, temanmu.

Sebenarnya aku ingin sekali bertemu denganmu. Tetapi saat aku mencoba mengajak untuk bertemu selalu kamu menghindarinya, entah alasan A, B, C. Awalnya aku bisa memaklumi, tetapi seiring waktu berjalan hingga tahun ke enam ini aku baru bisa mengerti tentang alasanmu tidak bisa bertemu denganku. Bukan karena kamu sedang sibuk tentang pekerjaanmu, tetapi memang kamu malas saja untuk bertemu denganku. Tak usah kamu jelaskan, aku sudah mengetahuinya. Kamu pernah bilang kepadaku bahwa kamu akan mengajakku untuk menonton bioskop, pergi ke toko buku bersama dan meminum espresso bersama. Tetapi semua itu hanya omong kosong saja.

“Ya Tuhan, kenapa baru sekarang baru disadarkan. Kenapa tidak dari dulu saja.” Batin ku.

Teman ku pernah berkata “Seharusnya kamu bersyukur, kehadiran dia menjadi sebuah pembelajaran kamu kedepannya. Untuk tidak gampang terbawa perasaan kepada pria. Walaupun pria itu sudah kenal lama atau baru kenal. Kamu harus bersikap biasa saja. Bahwa sebenarnya apa yang kamu harapkan, terkadang tidak sesuai harapan. Karena Tuhan tidak menyukai hambanya yang terlalu berharap kepada makhluknya, bukan kepada Tuhannya. Makanya kamu berharap kepada Tuhanmu dulu baru kamu mengharapkan orang yang kamu cintai.”

Seketika aku mulai bangkit saat mendengar nasihat temanku. Bahwa aku harus memperbaiki diri terlebih dahulu, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Bahwa Tuhan sudah mempersiapkan jodoh kita masing-masing. Sebisa mungkin bersikap biasa saja, dan jangan berlebihan. Karena Tuhan tidak suka yang berlebih-lebihan kecuali kepada-Nya.

Semarang, November 2018

Jangan Harapkan Lagi

Bila hadirnya tak kunjung datang
Mungkin ia sudah tak mau menemuimu lagi
Walaupun kamu sudah memohon untuk bertemu dengannya

Tak usah dipaksakan lagi
Tak usah ditunggu lagi
Apa hatimu tidak lelah?

Mungkin kamu sudah bersabar
Dengan sikap dia terhadapmu
Mungkin kamu sudah memaafkan perlakuan dia kepadamu

Apa mau seperti ini terus kepadanya?

Aku hanya kasian saja, melihat kamu terlalu berharap kepada satu orang itu
Tapi sadar tidak, orang itu tidak pernah memikirkan kamu
Sedetik pun dia tidak pernah memperdulikan kamu

Seharusnya kamu sadar, sudah bertahun-tahun mengharapkan seseorang seperti dia
Karena kamu masih memprioritaskan dia berada dihatimu

Ku sarankan kamu segera melepaskan dia
Karena pasti ada seseorang yang diam-diam memperhatikanmu
Namun kamu tidak pernah melihatnya
Setidaknya cobalah untuk membuka hati, agar kekecewaan kemarin bisa segera terobati.

Brebes, November 2018

Kamis, 01 November 2018

JENDELA RUMAH SUSUN


Cerpen Aulia Salsabila

Hari ini tepat di hari minggu keluarga salwa akan berpindah tempat tinggal. Sebelumnya mereka tinggal dikolong jembatan disekitar daerah Jakarta selatan. Dengan rumah sepetak ala kadarnya, tetapi tidak mempengaruhi keharmonisan salwa dengan keluarganya. Salwa dan keluarga sangat bersyukur atas program pemerintah yang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Tetapi ada sebagian warga kolong jembatan yang menolak untuk dipindahkan di tempat yang layak. Mungkin karena tempat yang dulu ia tinggal memiliki sebuah kenangan.
Tempat tinggal yang akan salwa tempati beserta keluarga yaitu sebuah rumah susun dikawasan Jakarta timur. Sebelum pindah, orang tua salwa sudah mensurvei tempat tinggal rusun tersebut. Menurut orang tua salwa jarak tempat tinggal yang baru tidak begitu jauh. Dengan begitu mereka langsung sesegera untuk pindah, karena jika tidak cepat maka akan berbeda dengan lokasi yang akan dihuni. Bisa saja akan lebih jauh dari yang ini. Lokasi yang sekarang menurut orang tua salwa sangat strategis, dimulai dari tempat kerja ayahnya yang sebagai tukang sapu jalanan. Dan juga tempat sekolah salwa, walaupun harus menggunakan kereta commuterline tetapi bagi salwa tidak ada masalah. Terpenting keluarga salwa mempunyai tempat tinggal yang layak.
Setelah selesai berkemas barang bawaan yang akan dibawa ke rumah susun. Salwa pun berpamitan ke tetangga di kolong jembatan yang belum mau pindah ke rumah susun tersebut. “Rat, lu bener kaga mau pindah? Tempatnya tuh nyaman tau. Sekali-kali mampir yee! Daah ratna” Salwa langsung melambaikan tangan dengan nada kencang. Sempat ada rasa sedih harus berpisah dengan sahabat kecilnya. Tak hanya itu orang tua salwa pun sempat bersedih karena harus meninggalkan tempat kenangan orangtua salwa. Walaupun begitu keluarga salwa harus mempunyai perubahan, walau baru dimulai dari tempat tinggal.
Sesampai di rumah susun, salwa pun langsung beristirahat duduk di kursi dekat pintu. Karena terlalu kelelahan setelah menaiki tangga lantai empat ditambah lagi dengan membawa tas yang begitu besar.
“Buset cape bener ya, kalo naik turun tangga begini bisa-bisa gua kurus” ucap salwa.
Lalu ibu salwa menghampiri salwa yang sedang kelelahan.
“Baru segitu udah ngeluh aja lu sal, itu belum ada seberapa dari kerja keras emak babeh lu. Nih emak bawa es teh biar setrong.” Sahut ibu salwa sambil memberi minum.
“Wah emak gua pengertian banget” ucap salwa sambil cengir-cengir.
“Eh jangan seneng dulu, habis ini beresin noh barang-barang lu dikamar sana tuh.” Ucap ibu salwa kepada salwa.
“Yaelah mak, baru gua puji eh ada maksud ternyata. Iye entar gua beresin. Santai!” Ucap salwa sambil meminum es teh.
Setelah salwa selesai membereskan barang bawaan miliknya, lalu salwa menuju jendela kamarnya. Melihat rusun yang bersebelahan dan melihat ada seorang pria sedang membereskan kamarnya. Nampaknya pria itu juga baru saja pindah di rumah susun ini seperti dirinya. Tetapi salwa berbeda gedung, walaupun masih satu lokasi. Rumah susun disini memiliki dua gedung. Gedung pertama diberi nama blok A dan gedung satunya diberi nama blok B. Tidak ada yang berbeda, tempat dan fasilitasnya pun sama saja, dari pihak pemerintah mungkin sengaja supaya penghuninya bisa banyak pada satu lokasi tersebut.
Salwa pun masih memandangi jendela kamar pria itu, pria tersebut langsung menyadari bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Salwa pun langsung kaget, dengan sigap salwa langsung memberi sapa kepada pria itu.
“Hai, kamu orang baru juga disini?” Ucap salwa dengan lantang.
“Apa aku tak mendengar.” Pria itu pun langsung menjawab.
“Kamu baru pindah disini?” Ucap salwa dengan memperjelas ucapan.
“Oh, iya. Aku baru pindah nih,” Ucap pria itu.
Setelah itu salwa pun menjawab dengan isyarat jempol. Dan pria itu pun langsung tersenyum. Dalam batin salwa langsung bertanya-tanya. Nama dia siapa? Dia pindahan dari mana? Dengan wajah bahagia. Tak lama kemudian ibu salwa menghampiri salwa dan menanyakan apakah sudah menyelesaikan tugasnya tadi.
“Sal udah lu beresin belum barang bawaan lu. Malah senyum-senyum sendiri. Awas loh sal, entar kesambet.” Ucap ibu salwa.
“Eh iya mak, udah salwa beresin nih. Udah rapih juga kan kamar salwa. Salwa boleh main berarti ye? Ucap salwa sambil memohon kepada ibu salwa.
“Mau main kemana lu, boleh aja sih. Tapi sekitar sini aja. Awas sampe jauh-jauh lu.” Ucap ibu salwa.
“Tenang mak, orang masih sekitar rusun ko. Mau liat-liat juga sama lingkungan rusun disini mak.”Ucap salwa sambil meninggalkan kamarnya.

Salwa pun berjalan menuruni tangga menuju lantai dasar. Saat berada dilantai tiga, salwa berpapasan dengan pria yang ia temui saat siang hari di sebrang jendela kamar salwa. Wajah salwa langsung berubah kemerahan, dan pria itu langsung menghampiri salwa sambil memperkenalkan nama pria itu sambil berjabat tangan. Sontak salwa langsung kaget tiba-tiba pria itu langsung memperkenalkan namanya. Ternyata pria itu bernama Andi. Andi berasal dari purwodadi, dan andi disini tinggal bersama ibunya. Ayah andi yang sedang bekerja proyek di luar jawa, membuat andi dan ibunya tidak bisa tinggal bersama untuk sementara. Keluarga andi memang keluarga yang pekerja keras, begitupun dengan andi. Ia sekarang membantu orangtuanya sebagai penjual koran diselingi dengan bersekolah di sma negeri di jakarta timur. Walaupun penghasilan dari menjual koran tidak seberapa, bagi andi uang dari hasil koran tersebut akan diberikan kepada ibunya. Faktor ekonomi disini sangat keras membuat keluarga andi harus berusaha untuk bertahan hidup di tempat rantauannya.
Setelah berkenalan dengan andi, salwa langsung mengajak andi ketempat favorit salwa.
“ndi mau ikut gua nggak? Gua mau ke taman dekat rusun nih. Disana tempatnya adem banget tau. Lu belum pernah kesana kan?” Ajak salwa.
“Emangnya ada sal? Boleh aja sih, yuuk.” Jawab andi.
Lalu mereka berdua pergi ke taman. Sesampai ditaman mereka langsung menuju ayunan yang bergelantungan di pohon dan duduk di ayunan pohon bersama andi. Banyak sekali pertanyaan salwa yang ditanyakan kepada andi. Andi pun tak segan menjawab pertanyaan yang diucapkan oleh salwa. Perbincangan mereka berdua sampai melupakan waktu, sampai senja tertelan oleh langit barat. Sampai azan magrib berkumandang mereka pun baru menyadari jika waktu telah mereka lewatkan dengan menikmati perkenalan yang membuatnya lupa dengan waktu.
Mereka berdua lalu pulang ke rumah susun. Lambaian tangan andi kepada salwa menjadi perpisahan sementara antara mereka berdua. Karena mereka berdua harus pulang ke rumah masing-masing dan salwa tidak satu blok rusun dengan andi, membuat andi dan salwa harus terpisah sementara. Hanya jendela kamar rumah susun saja mereka berdua bisa saling bertemu. Jendela kamar andi dan salwa kebetulan bersebelahan, walaupun tidak begitu dekat tetapi mereka berdua bisa saling menatap. Dan juga saling bertukar senyum sapa kepada mereka berdua. Kadang keisengan andi kepada salwa, yang sewaktu-waktu membuat salwa merasa kesal.
Pertemanan mereka pun berjalan dengan baik. Tak hanya itu orangtua salwa dan andi juga sudah saling mengenal. Biasanya ibu andi mengajak salwa untuk membantu membuat kue. Karena ibu andi bekerja menjual kue tradisonal di pasar senen. Sesekali salwa ikut membantu membawakan dagangan ibu andi, tentu dengan andi juga mereka berdua selalu bersama-sama. Banyak teman-teman dan tetangga salwa bilang bahwa salwa dan andi adalah pasangan yang cocok. Saat banyak orang yang bilang begitu, tetapi salwa hanya menganggapnya santai saja. karena salwa menggapnya andi adalah sosok pria yang hanya sebagai sahabat saja. Salwa khawatir jika persahabatan yang ia jalani rusak karena rasa saling suka. Maka dari itu salwa selalu menjaga jaga jarak supaya rasa itu tidak tumbuh didalam hatinya. Bagi salwa jika andi adalah jodohnya maka mereka akan tetap bersama sebagai teman hidupnya. Tak ada harapan lebih bagi salwa kepada andi. Salwa pasrahkan kepada yang maha kuasa saja.