TRIBUN
JATENG – Sehubungan
dengan opini yang dimuat pada tanggal (Jumat, 23 Desember 2016) dengan
judul “Ibu, Televisi dan Generasi Internet” Oleh Tri Pujiati (Alumnus Pendidikan Bahasa Arab Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Dari Opini yang dimuat, saya sependapat dengan
saudari. Bahwa maraknya acara televisi pada beberapa dekade ini yang semakin
kesini semakin tidak bermutu, tontonan yang seharusnya tidak ditonton oleh
anak-anak tetapi seperti dipaksa untuk ditonton. Karena tidak ada pilihan lain
acara yang akan ditonton. Terlebih lagi acara anak-anak yang semakin berkurang.
Padahal acara televisi untuk anak-anak sangat diperlukan, terlebih untuk
membangun karekter dan psikologi yang harus mendapatkan ajaran yang baik. Jika
acara televisi seperti ini terus generasi penerus bangsa akan menjadi rusak.
Belum sepatutnya anak-anak dibawah umur menonton acara yang sepatutnya belum
diperbolehkan untuk ditonton, seperi : Sinetron, gosip, kekerasan dan
sebagainya. Membuat karakter anak menjadi rusak dengan acara yang seperti itu.
Bahwa Perusahaan televisi sekarang
hanya mengejar target untuk meningkatkan ratting yang tinggi. Bagi mereka, yang
penting diterima oleh masyarakat tanpa memperdulikan efeknya terhadap perkembangan
anak. Sungguh miris jika seperti itu adanya.
Tingkat anak-anak yang memiliki rasa
ingin tahu yang tinggi, berpotensi untuk menirukan adegan atau perbuatan yang
dilihat olehnya. Maka untuk mengatasinya, bagi orang tua harus mengawasi saat
anak-anaknya untuk menonton televisi. Supaya tontonan yang dilihat tidak
berdampak yang buruk. Sudah dikatakan pada opininya bahwa keberadaan orang tua
terutama ibu sangat diperlukan untuk menanamkan kesadaran serta menyeleksi
acara yang pantas bagi anak-anaknya.
Pada dasarnya
televisi itu merupakan informasi yang didapat pada hal yang dilihat melalui
televisi tersebut. Karena tak harus dengan surat kabar, majalah, dan lainnya,
untuk mengetahui informasi tersebut. Maka dengan televisi seharusnya sudah
mendapatkan informasi yang positif, bukan hal negative yang didapat.
Seperti hasil survei yang dikemukaan
oleh opini saudari oleh Nielsen Audience Measurement pada 2012 menunjukkan
bahwa masyarakat Indonesia yang menonton televisi mencapai 95%.kemudian disusul Internet
dengan 33%, radio 20%, surat kabar 12%, tabloid 6%, dan majalah 5%.
Badan Pusat statistik (BPS) pada tahun
2006 mencatat, penduduk dengan usia di atas 10 tahun yang menonton TV jumlahnya
85,86% dan yang membaca surat kabar 23,46%. Selanjutnya pada tahun 2009,
penduduk yang menonton TV mencapai 90,27% dan membaca surat kabar 18,94%. Pada
tahun 2012 menunjukkan, penduduk yang menonton TV berjumlah 91,68% dan yang
membaca surat kabar berjumlah 17,66%.
Ada beberapa cara supaya penonton
tertarik pada acara televisi yang menurut saya tidak menarik, yaitu dengan
mengundang artis yang sedang naik daun, atau memerankan tokoh pada sinetron.
Dengan mudah masyarakat tertarik untuk menonton acara televisi tersebut.
Dan
beberapa beberapa dekade akhir-akhir ini berkurangnya artis cilik yang
menanyangkan acara yang khusus untuk usia anak-anak. Dahulu saya ingat ada
acara televisi anak tahun 90’an yaitu : “Si Komo” Apakah ada yang masih ingat Si
Komo? Program untuk anak-anak yang tayang sekitar tahun 1997
pertama kali muncul di TPI, tayang setiap pagi pukul 08.00 WIB. Tokoh ikonik si
Komo ini terinspirasi dari binatang Komodo.
Tayangan ini sangat inspiratif dan edukatif sehingga mendapat pujian
dan apresiasi dari Presiden kala itu dan tentunya para orang tua yang sangat
tertolong dalam pembentukan karakter anak-anaknya. Tokoh yang sering
mengucapkan "weleh…weleh.."
ini di Dubbing oleh Kak Seto yang kemudian dikenal
hingga saat ini sebagai pemerhati anak.
Coba kita lihat sekarang apakah ada acara yang mendidik seperti acara
televisi saat tahun 90’an. Bagi saya semakin kesini semakin berkurang. Mungkin
ada, tetapi tidak sebagus yang dahulu. Atau pengemasannya saja yang jaman
sekarang semakin maju. tetapi tidak tahu juga sih.
Jadi pertelevisian yang mendidik yang dibutuhkan bagi anak-anak. Supaya
mereka
mengerti dan memahami acara-acara apa yang pantas untuk ditonton dan tidak. Dan
juga perlu adanya dukungan dari KPI yang harus lebih tanggap atas insiden yang
tidak baik ini.
Selain dari KPI, peran orangtua pun sangat penting untuk memantau apa
saja yang ditonton oleh anak-anak. Khusus pada seorang ibu dituntut untuk lebih aktif
memantau anak-anaknya baik siang maupun malam agar tidak terjebak pada acara televisi yang tidak mendidik.
Maka psikologi anak
sangat penting untuk kedepannya, supaya menjadi warisan bangsa yang unggul dan
berkarakter berbudi luhur. Jika awalnya sudah tercemar dengan hal yang tidak
baik maka seterusnya akan seperti itu. Jadi lebih baik dicegah lebih dini
ketimbang terlambat untuk ditanganinya.
Pesan dari saya,
jadilah penikmat pertelevisian yang bijak. Harus bisa mengetahui porsi tontonan
yang kita tonton sesuai usia kita. Jangan sampai salah, jika salah maka yang
didapat bukan informasi tetapi hanya kesiasiaan saja yang kita lihat.
Aulia Salsabila.
Mahasiswa Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Semarang.
(24 Desember 2016)