Jumat, 25 Desember 2015

Sejarah Wayang Golek Sunda


Wayang Golek adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang di daerah Jawa Barat. Daerah penyebarannya terbentang luas dari Cirebon di sebelah timur sampai wilayah Banten di sebelah barat, bahkan di daerah Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Barat sering pula dipertunjukkan pergelaran Wayang Golek.Perkembangan wayang golek yang terus dialami sampai sekarang selalu menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Perkembangan wayang golek menurut Salmun dimulai oleh perkembangan wayang kulit pada jaman Erlangga berkuasa pada tahun 1050 M. Ketika itu hanya diceritakan seperti dongeng (Salmun, 1961 : 10-27)
Atja & Saleh Danasasmita, (1981) mengatakan bahwa hampir dapat dipastikan bahwa orang yang membawakan dongeng (juru cerita) itu adalah dalang.
Naskah Sunda Kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian yang ditulis tahun 1518 M, menyebutkan bahwa :  “hayang nyaho disakweh ning carita ma, geus ma: Darmajati, Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakerma, Ramayana, Adiparwa, Korawasrama, Bimasora, Ranggalawe, Boma, Sumana, Kala Purbaka, Jarini, Tantri; sing sawatek carita ma memen tanya. Jika ingin tahu semua cerita, seperti: Darmajati, Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakerma, Ramayana, Adiparwa, Korawasrama, Bimasora, Ranggalawe, Boma, Sumana, Kala Purbaka, Jarini, Tantri; ya segala macam cerita, tanyalah dalang”.
Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Sunda mengenal kesenian wayang sudah cukup lama, seperti terbukti dengan disebutkannya beberapa judul cerita di atas.

Pada tahun 1583, Sunan Kudus membuat wayang golek, maksudnya dapat ditonton pada siang hari (Sopandi, 1984:69). Hasil ciptaan inilah dikemudian hari berkembang di Jawa Barat. Daerah yang pertama dimasuki adalah Cirebon, bahasa yang digunakannya pun masih bahasa Jawa.
Tema yang selalu ditampilkan adalah mengenai kisah-kisah Wong Agung Menak yang mempunyai nama-nama seperti Amir, Amir Mukminin, Jayadimurti, Jayengjurit, Jayenglaga, Jayengsatru, dll. Wayang tersebut dikenal dengan nama Wayang Cepak.
Pada Tahun 1808-1811 setelah ada jalan pos yang dibangun Daendels, wayang golek mulai masuk ke Priangan (Sopandi, 1984:70). Bahasa yang dipakai sudah Bahasa Sunda, sehingga pada waktu itu mulai banyak dalang dan masyarakat yang menggemari wayang golek.
Setelah Perang Dunia II di Jawa Barat ada wayang modern yang diciptakan oleh R.U. Partasuwanda. Perkembangannya dimulai pada jaman Jepang. Ketika itu orang sangat sulit untuk menyaksikan pertunjukan wayang golek karena pemerintah Jepang membuat larangan agar tidak ada pesta yang melewati pukul 24.00 sedangkan pertunjukan wayang golek memerlukan waktu yang cukup panjang.
Banyak masyarakat yang mengajukan permintaan pada pemerintah Jepang agar wayang golek disiarkan melalui radio dan akhirnya jawatan radio Jepang menerima permintaan tersebut. Dalang pertama yang menyanggupi mengisi acara tersebut adalah R.U. Partasuwanda, tetapi waktu pertunjukannya pun hanya 3 jam. Dalam keadaan seperti itu, R.U. Partasuwanda mencoba membuat wayang golek yang bisa dipentaskan selama 3 jam. Dengan diilhami oleh pertunjukan sandiwara, ia menciptakan wayang model baru yang kemudian dikenal dengan wayang modern.
Dari dalang generasi R.U. Partasuwanda sampai pada tahun 1980-an Wayang golek mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama pada tahun 1980-an setelah hadirnya dalang (alm) H. Ade Kosasih Sunarya dan H. Asep Sunandar Sunarya.
Wayang golek mulai mendapat tempat di masyarakat hal ini dikarenakan kreatifitas mereka untuk bisa menarik massa. Eksistensi kedua dalang tersebut sampai saat ini masih mempengaruhi perkembangan wayang golek di Jawa Barat karena keduanya selalu beradaptasi terhadap apresiasi masyarakat.

LANGKAH-LANGKAH MERESENSI BUKU

Berikut ini adalah langkah-langkah praktis yang dapat Anda gunakan untuk membuat resensi sebuah buku.
1. Melakukan penjajakan atau pengenalan buku yang diresensi, meliputi:
·  Tema buku yang diresensi, serta deskripsi buku.
·  Siapa penerbit yang menerbitkan buku itu, kapan dan di mana diterbitkan, tebal (jumlah bab dan halaman), format hingga harga.
·  Siapa pengarangnya: nama, latar belakang pendidikan, reputasi dan presentasi buku atau karya apa saja yang ditulis sampai alasan mengapa ia menulis buku itu.
·  Penggolongan / bidang kajian buku itu: ekonomi, teknik, politik, pendidikan, psikologi, sosiologi, filsafat, bahasa, sastra, atau lainnya.
2. Membaca buku yang akan diresensi secara menyeluruh, cermat, dan teliti. Peta permasalahan dalam buku itu perlu dipahami dengan tepat dan akurat.
3. Menandai bagian-bagian buku yang memerlukan perhatian khusus dan menentukan bagian-bagian yang akan dikutip sebagai data acuan.
4. Membuat sinopsis atau intisari dari buku yang akan diresensi.
5. Menentukan sikap atau penilaian terhadap hal-hal berikut ini:
·  Organisasi atau kerangka penulisan; bagaimana hubungan antar bagian satu dengan lainnya, bagaimana sistematika, dan dinamikanya.
·  Isi pernyataan; bagaimana bobot idenya, seberapa kuat analisanya, bagaimana kelengkapan penyajian datanya, dan bagaimana kreativitas pemikirannya.
·  Bahasa; bagaimana ejaan yang disempurnakan diterapkan, bagaimana penggunaan kalimat dan ketepatan pilihan kata di dalamnya, terutama untuk buku-buku ilmiah.
·  Aspek teknis; bagaimana tata letak, bagaimana tata wajah, bagaimana kerapian dan kebersihan, dan kualitas cetakannya (apakah ada banyak salah cetak).
Sebelum melakukan penilaian, alangkah baiknya jika terlebih dahulu dibuat semacam garis besar (outline) dari resensi itu. Outline ini akan sangat membantu kita ketika menulis.
6. Mengoreksi dan merevisi hasil resensi dengan menggunakan dasar- dasar dan kriteria-kriteria yang telah kita tentukan sebelumnya.
Bahan dikutip dari sumber:
Judul Buku : Dasar-dasar Meresensi Buku
Penulis : DR. A.M. Slamet Soewandi
Penerbit : PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta Tahun : 1997
Halaman : 6 - 7